THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 26 Juli 2009

Selasa, 07 April 2009

KEMATIAN
Oleh : Millah Nurotul Haq

Kematian. Mungkin bagi sebagian orang kata itu terasa sangat menakutkan. Bagi gue itu biasa, karena dari kecil gue selalu dihadapkan dengan peristiwa yang berhubungan dengan kematian. Gila memang tapi ini nyata. Gue terlahir tanpa orang tua, maksudnya nyokap gue meninggal saat gue terlahir ke dunia ini. ingin rasanya menyalahkan diri gue, tapi tak ada gunanya sama sekali toh itu tak mungkin membuat nyokap gue kembali. Bokap gue juga pergi meninggalkan gue. Dia meninggal saat gue berumur 10 tahun, kata orang-orang bokap gue meninggal karena sakit jantung. Gue jadi terbiasa menghadapi orang yang meninggal, bukan karena air mata gue sudah kering tapi hati gue merasa terbiasa. Begitu pula ketika gue kehilangan sahabat deket gue, Fahmi namanya. Dia meninggal karena kecelakaan, gue sama sekali engga bisa menitikkan air mata sedikit pun.tidak masuk akal memang, tapi begitulah keadaannya gue juga engga ngerti dengan semua ini.

***

Kadang gue berpikir dalam kesendirian, kenapa hidup gue begitu tragis. Coba saja kehidupan gue dijadikan ide cerita untuk sinetron, pasti ratingnya selalu di atas. Lucu. Rutinitas gue pergi kerja untuk biaya hidup kadang membuat gue bosan. Lelah. Gue punya mimpi tapi mimpi itu tak mungkin jadi nyata. Tak ada seorang pun yang mendukung gue untuk menggapai mimpi itu. Rasanya sulit untuk dicapai. Ah…sudahlah biar mimpi itu menjadi hiasan mimpi gue di setiap malam. Saat ini gue kerja di bengkel Pak Harun. Bengkel kecil, tapi inilah tempat yang mau memapung gue untuk bekerja, selebihnya hanya mementingkan ijazah dan pengalaman kerja, tapi gue merasa nyaman kerja di sini. Entah apa yang membuat gue merasa nyaman, kalau jujur sih, gaji di sini engga seberapa, tapi ya…sudahlah tidak usah dipikirkan terlalu jauh.
“ Lagi mikirin apa, Dan?” Rudy teman kerja di bengkel menepuk pundak gue. “ Mikirin duit?” tanyanya lagi.
Gue diam saja, cepat-cepat gue mencuci motor yang sedari tadi berdiri di depan gue.
“ Dan, tadi ada cewek yang nanyain lo! Anak SMA depan bengkel, katanya dia ingin ketemu sama lo!”
Pasti Sanny. Kenapa sih dia selalu menganggu gue. Sanny, cewek yang selama ini selalu ada dalam cerita kehidupan gue. Cantik memang tapi gaya glamournya itu yang membuat gue engga tahan. Uang baginya terasa mudah, apa yang dia inginkan selalu terpenuhi. Entah apa yang dia cari dari gue. Sudah dua bulan ini dia selalu datang ke bengkel ini.
“ Hai!”
Baru saja gue mikirin tentang dia, sudah muncul dihadapan gue. Wangi parfum yang kadang membuat gue merasa tergoda. Parfum malah kali ya? Wanginya sangat lembut. Gue engga munafik, sebagai seorang cowok normal gue memang suka ada seorang cewek cantik ngedeketin gue, tapi gue engga suka dengan cara dia ngedeketin gue. Dia terlalu agresife buat gue.
“ Kok diem aja sih? Sekalian ya mobil gue lo cuci.” Katanya sambil tersenyum ke arah gue.
Gue mengangguk tanda setuju apa yang diinginkan dia.
“ Lo, betah kerja di sini?” tanyanya. Gue engga menjawab pertanyaannya.
“ Bengkel kecil kayak gini, lo masih mau kerja di sini?” tanyanya lagi.
Huh…ingin rasanya gue menyumpal mulutnya tapi gue engga bisa melakukan apa-apa. Gue hanya terus mencuci mobil mewah berwarna merah itu. Dia terus mengoceh tentang apa yang dia lihat atau dia selalu bercerita tentang pesta yang dia kunjungi. Anehnya dia engga merasa bosan dengan sikap gue yang acuh terhadapnya. Sudah terbiasa kali.
“ Sudah selesai!” kata gue sambil beranjak untuk melanjutkn pekerjaan yang lainnya.
“ Tunggu!”
“ Nih…” dia memberikan uang 50 ribu. Gue menolak, karena sehuenya dia membayar bukan gue.
“ Gue ngasih buat lo, anggap aja ini imbalan karena lo mau ngedengerin curhat gue.” Katanya sembari menarik tangan gue dan menyimpan uang itu di telapak tangan gue.
“ Sekali lagi thanks ya!”
Gue hanya terdiam. Dasar cewek aneh.

***

Kali ini gue melihat Sanny menangis. Dia menangis tepat di dahapan gue. Gue engga ngerti kenapa dia bisa menangis, rona kesedihan kini jelas tergambat di raut wajahnya yang putih. Ingin rasanya gue menanyakan apa yang menjadi penyebab dia menangis, tapi gue merasa tak berani untuk melakukannnya, gue takut pertanyaan gue membuatnya tambah sedih. Gue menunggu sampai dia berhenti menangis.
“ Sorry!” kata itu yang pertama terlontar dari mulut manisnya. Dia mengeluarkan tissue dari dalam tasnya.
“ Kenapa?” tiba-tiba saja gue berani untuk berbicara.
“ Sudahlah, ini engga penting buat diceritain.”
Sanny mulai tersenyum. Ada kelegaan dalam hati gue. Rasanya gue mulai merasa suka dengan kehadiran dia yang selalu datang tiba-tiba itu. Hati gue merasa nyaman dan entahlah susah untuk dijelaskan. Gue senang melihat dia tersenyum. Manis. Satu kata yang ada dalam pkiranku saat ini.
“ Makasih ya?” suara lembutnya terdengar di telinga gue.
“ Makasih untuk apa?” Tanya gue engga ngerti.
“ Makasih, lo udah mau nemenin gue nangis,hehehe!”
Gue tersenyum. What? Gue tersenyum, pertama kali ada yang membuat gue tersenyum. Selama ini wajah gue tak pernah sekali pun dihiasi dengan senyuman.
Sanny mulai berceloteh, kali ini gue sama sekali engga mau menyumpal mulutnya. Gue merasa senang, bahkan gue enggan mau hari ini berakhir. Gue ingin ini berlanjut selamanya….

***

Jatuh cinta. Mungkin gue benar-benar jatuh cinta. Gue engga bisa membohongi perasaan ini. Sebagai cowok gue harus berani mengungkapkan perasaan gue. Hari ini gue harus mengatakan semuanya.
Mungkin Tuhan berkehendak lain. Sebelum mengungkapkan perasaan gue, ada tiga orang cowok yang dating ke tempat bengkel gue. Awalnya gue merasa, mereka mau menitipkan motor untuk gue cuci, tapi…bukan itu niat mereka datang, mereka menghajar gue. Gue engga bisa melawan, gue kaget. Gue sama sekali tidak mengenal mereka. Sebenarnya apa yang mereka inginkan dari gue. Gue sudah setengah tak sadar, yang gue ingat ada seorang cowok menghampiri gue dan menusukkan sesuatu tepat ke arah perut gue. Darah mengalir deras. Gue tak bisa melakukan apa-apa lagi. Ketiga cowok itu pergi meninggalkan gue, gue sendiri. Gue sendiri menhadapi kematian. Gue baru tahu rasanya saat kematian itu datang. Nyeri, dada terasa sesak, denyut nadi perlahan-lahan berhentin. Tuhan…sampaikan padanya bahwa aku mencintainya….SANNY.




















GILA!
Oleh : Millah Nurotul Haq

Gila! Ini benar-benar gila, sama sekali tidak masuk akal! Apa sih yang diinginkan Clara, sehingga dia berani melakukan ini semua, ini membuat gue benar-benar malu. Gue malu! Akh..sudahlah tak ada waktu buat mengeluh semuanya sudah terjadi dan jelas-jelas ini membuat gue jadi drop.
Gue sama sekali engga ngerti apa yang sebenarnya yang inginkan si brengsek Clara, setiap hari dia engga puas dengan apa yang dilakukannya terhadap gue, ada-ada saja yang dia perbuat supaya gue jadi pusat perhatian banyak orang. Kali ini engga bisa gue biarin, ini sudah kelewatan batas.
Gue memang termasuk orang yang lemah, yap…gue memang sangat lemah saking lemahnya gue rela tiap hari jadi objek penderita. Gue engga punya pikiran untuk membuat perlawanan terhadap apa yang dia lakukan, karena menurut gue itu engga penting. Gue sekolah bukan nyari musuh tapi gue sekolah itu untuk menuntut ilmu tapi kenyataannya gue ditindas ini sangat kejam! Lebih kejam dari cerita Harry Potter yang dikurung oleh bibinya yang sama sekali tidak menyukainya. Sudahlah kalau gue nyerita terus, permasalahan ini engga akan menyelesaikan keadaan.

Hari ini rasanya gue malas untuk berangkat ke sekolah, bukan karena gue punya masalah di sekolah. Sorry la yaw…engga level. Entah mengapa badan gue rasanya sakit semua. Akh tidak…gue sakit! Engga…engga…ini engga boleh terjadi. Gue engga mau nyusahin Bunda, hari ini gue musti sekolah. Dengan berat hati gue melangkah menjauhi tempat tidur yang empuk dan nyaman itu. Gue mandi lalu siap-siap buat berangkat sekolah. Sarapan yang sama sekali tak membuat gue selera bukan karena menu yang disajikan Bunda tapi rasanya lidah gue menola semua makanan yang seharusnya membuat gue ngiler. Bunda membaca gelagat sikap gue, dengan teraksa deh gue melahap nasi goreng yang sedari tadi diam terpaku di depan gue.

Pusing di kepala gue semakin menjadi-jadi. Pelajaran demi pelajaran hari ini tak satu pun bisa diserap oleh otak gue. Duh.. kenapa sih bisa begini? Engga biasanya gue bisa drop kayak gini. Gue terus memegang kepala gue yang mulai terasa berat. Ah…gila Clara! Kenapa sih dia mesti datang di saat gue lagi tersiksa seperti ini? Oh…Tuhan! Gue engga kuat untuk nerima ini semua. Kali ini saja gue pengen tenang engga ada masalah. Tapi kayaknya keinginan gue engga seratus persen tercapai. Clara menghampiri gue dan menggebrak meja gue. Gue mulai mual bukan karena kedatangan dia tapi karena pusing yang sedari tadi hinggap dikepala gue.
Clara mulai dengan ceramah yang tak tahu apa tujuannya membentak-bentak gue. Hampir seluruh anak-anak kelas memperhatikan gue. Mungkin mereka prihatin, tapi tidak ada satu pun yang berani membela gue, semuanya seperti tersihir dengan mulut manis nona Clara. Semakin lama semakin tidak jelas apa yang dikatakan nenek sihir di depan gue ini, yang terdengar hanya sebuah nama yang membuat Clara membenci gue. Radit! Itulah nama yang selalu disebut dan diulang-ulang dalam setiap kalimatnya. Entahlah gue sama sekali tidak mengerti dengan sikap Clara. Belum puaskah dia membuat gue malu dihadapan semua orang. Belum puaskah dia membuat gue menderita. Selama ini tidak ada satu pun teman yang mau bersahabat dengan gue, itu semua karena ulah Clara. Ya…dia yang suka mencari perkara, dia selalu mengatakan kalau gue orang gila. Gue memang gila, tapi engga gila harta. Clara selalu menceritakan kepada semua orang kalau Bokap gue, GILA!Ok..gue bisa nerima itu semua, tapi pliss jangan cerita kepada semua orang.
Makin lama gue engga tahan dengan ocehan dia. Gue mulai bangkit dari tempat duduk gue, tapi gue engga kuat. Kepala gue makin berat. Gue coba berjalan sedikit tapi Clara menghadang gue. “ Inget ya…lo engga usah cari perhatian Radit!” itu kata-kata yang gue ingat sebelum gue melangkahkan kaki keluar kelas.

Kadang-kadang gue berpikir, kapan gue bisa meninggalkan dunia ini. gue sudah lelah dan engga sanggup dengan penderitaan ini. Hidup di keluarga yang bisa dibilang miskin, diberi wajah yang pas-passan dan punya bokap gila pula. Itu membuat gue engga tahan. Pernah terbesit dalam pikiran gue untuk mencoba bunuh diri tapi gue engga mampu melakukannya karena gue selalu ingat Bunda. Bunda yang sayang sama gue yang dengan susah payah nyari duit buat gue sekolah. Memang gue bodoh, harusnya keinginan buat bunuh diri dikubur dalam-dalam.
“ Boleh gue duduk disini?”
Ada suara berat menghiasi keheningan. Radit! Ya Tuhan… apa lagi yang akan terjadi?
Gue belum jawab pertanyaan dia, tapi dia langsung duduk di samping gue. Terasa hening, tak ada suara. Gue tak tahu mesti berbuat apa. Tiba-tiba saja gue berdiri, kaki gue melangkah mencoba untuk menjauh dari Radit. Mungkin Radit bingung, tapi gue engga peduli, sama sekali engga peduli.

Siang ini jadwal gue mengunjungi bokap. Malas sih, tapi biar gimana pun dia tetap bokap gue yang gue sayangi.
Rumah sakit yang selalu saja bau membuatku tak tahan untuk berlama-lama menikmatinya. Aroma alkhohol yang menusuk hidung membuat gue terasa pusing. Gue tak ingin belama-lama, setelah seorang suster menjelaskan perkembangan bokap gue, gue langsung saja melangkah pergi untuk pulang. Belum sampai depan, gue melihat sosok itu lagi…Radit! Kenapa sih dia selalu menjadi masalah buat gue?
“ Mau pulang? Tadi gue ke rumah lo, kata nyokap lo, lo lagi di sini jadi gue nyusul.” Tanpa disuruh pun dia langsung menjelaskan. Gue tersenyum kecut. Gue tak peduli.
“ Gue anter lo pulang!” tangannya menarik tangan gue. Oh..my God ada apa dengan hati gue ini? gue mencoba menarik tangan gue, terasa sakit memang.
Radit membuka pintu mobilnya, entah mengapa kaki gue tiba-tiba melangkah dan masuk ke dalam mobil dia. Bodoh! Satu kata yang terlontar dalam hati, harusnya gue langsung kabur.
Hening. Suasana ini selalu saja menghiasi. Tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Benar-benar terasa membingungkan.
“ Gue tahu apa yang lo rasakan saat ini! tiba- tiba suaranya muncul dalam keheningan. “ Gue tahu perlakukan Clara terhadap lo! Tapi gue engga bisa membohongi perasaan gue!”
Perasaan apa Radit…gue engga ngerti. Ingin rasanya perjalanan ini berjalan cepat, tapi saat ini entah mengapa terasa begitu lamban.
“ Gue sayang sama lo! Gue suka sama lo! Gue cinta sama lo!
Kaget memang buat hati gue. Happy sih tapi ini engga mungkin, rasanya mimpi. Ya…ini mungkin mimpi.
Mobil berhenti di depan rumah gue. Ada yang menyentuh tangan gue, ini nyata!
“ Gue harap, lo bisa pertimbangkan perasaan gue!”
Gue turun dari mobil. Gue bimbang. Gue bimbang dengan perasaan gue. Ini Gila! Benar-benar GILA!!!!